Posted by : ade rizal tosi
Kamis, 28 Juni 2012
Otonomi daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua
nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
- Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam
pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di
dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti
kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
- Nilai dasar Desentralisasi
Teritorial, dari
isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan
untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang
ketatanegaraan.
Dikaitkan
dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada
Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar pertimbangan:
- Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang
mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan
peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
- Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
- Dati II adalah daerah
"ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang
lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar
itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
- Nyata, otonomi secara nyata diperlukan
sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
- Bertanggung jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok
tanah air; dan
- Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu
menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa
aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
- Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun
1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang
kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama
dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan
mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan
politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas
administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom,
selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah
yang dirangkum dalam tiga prinsip:
- Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah
dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan
rumah tangganya;
- Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari
Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat
atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan
- Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah
oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat
atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam
kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam
Negeri,[9]
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan berikutnya,[10]
dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang
berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu
olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta
mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan
dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing
Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan
pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan,
mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan
melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara,
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah
untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada
Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat
kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua
bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5
Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi
adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan
maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol
dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang
relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius
untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian
rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan
Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi
tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa
pilihan yaitu:
- melakukan pembagian kekuasaan
dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat
dan memberikan otonomi kepada daerah;
- pembentukan negara federal;
atau
- membuat pemerintah provinsi
sebagai agen murni pemerintah pusat.